Thursday, September 20, 2007

DIA ANAKKU DAN GURU TERBAIKKU



Namanya Muhdarul Islami Zarnuji. Di sekolah dia biasa dipanggil Darul sementara di rumah, saya, bundanya, adiknya dan teman-teman sepermainannya selalu memanggil dia A’A. Mungkin ada yang bertanya, kenapa nama panggilannya jauh sekali berbeda dengan nama sebenarnya. Ceritanya unik dan proses pemberian nama panggilannya pun sangat simpel. Ketika ia dilahirkan lalu pertama kali bisa membuka matanya, saya bermaksud mengajak ia berinteraksi dengan memanggilnya. Tetapi nama panggilannya belum ada saat itu. Lalu saya minta pandangan pertamakali dari bundanya soal nama panggilan tersebut. Dalam keadaan yang masih belum begitu pulih betul, bundanya spontan aja berkata “panggil aja dia A’A”. “Lho.. kok A’A ?” tanya saya. “A’A itu berarti Mas atau Abang. A kalau kita setarakan dengan ALIF kan juga huruf awal baik dalam huruf latin maupun hijaiyah. Kan dia anak pertama”, timpalnya. Saya pikir-pikir, iya juga. Karena saya rasa nyambung akhirnya saya setuju saja dia dipanggil dengan sebutan A’A sampai sekarang.

Dia dilahirkan tanggal 12 Oktober 2000 di Magetan, Jawa Timur. Insya-Allah persis di hari terakhir Ramadhan 1428 H nanti ia genap berusia 7 tahun. Semasa dalam kandungan, ketika dilahirkan, hingga usia hampir 2 tahun, tidak ada sesuatu yang istimewa atau berbeda darinya. Namun sejak ia berusia 2 tahuun sampai saat ini, banyak sekali hal-hal yang ‘luar biasa’ yang dialaminya. Luar biasa dalam tanda kutip karena tidak biasa seperti kebanyakan anak-anak seusianya. Kalau kebanyakan anak yang berusia 2-3 tahun sudah bisa berbicara bahkan mengkomunikasikan keinginannya dengan lancar, anak laki-laki pertama saya ini pada usia-usia tersebut bahkan sampai usia 6 tahun sama sekali tidak bisa berbicara [menyebutkan kata-kata atau potongan kalimat yang lazim diujarkan oleh anak seusianya] apalagi berkomunikasi [memaknai dan memberi pesan yang sangat sederhana saja seperti jangan, pergi, ambil bantal, minta minum, mau makan dan sejenisnya dari orang lain]. Sempat suatu hari ketika bundanya mengandung anak kami yang kedua, kami datang ke sebuah tempat dokter praktik “IBNU SINA” untuk memeriksa kandungannya. Sementara menunggu giliran dipanggil, dia, saya dan bundanya duduk berjejer di sebuah bangku panjang dimana pasien biasa menunggu gilirannya. Tiba-tiba ada seekor kucing lewat di depan kami. Sontak saat itu dia melompat dari tempat duduknya ingin menangkap kucing itu padahal bagin anak-anak yang usia sekitar 1,7 tahun, hewan itu masih menakutkan bagi mereka. Tapi buat anak saya tersebut, sama sekali tidak tampak rasa takut sedikitpun. Karena kucing tersebut berlari, dia pun ikut berlari sejadinya kemana saja kucing tersebut berlari. Tidak cuman itu, nampak sekali dari expresi wajah dan gerakannya, sungguh dia dalam keadaan histeris. Dia berteriak mengeluarkan suara-suara yang sangat aneh yang sama sekali tidak kita mengerti. Karena khawatir dia celaka dan pasien lain terganggu, saya terpaksa ‘ikut-ikutan’ berlari sejadi-jadinya mengejar dia sambil berkata; berhenti A’A…. berhenti A’A… jangan… jangan… nak. Dia sama sekali tidak menggubris perintah saya. Menoleh pun tidak. Akhirnya saya pegang pundaknya, saya dekap sambil dia terus saja berontak. Saya balikkan badannya ke arah saya sambil saya bicara agak keras; “lihat ayah nak, … lihat ayah..” kata saya dengan nada yang sangat tinggi. Dia samasekali tidak bergeming. Dia tetap saja menunduk. Kesabaran saya sudah hampir habis. Saya pegang dagunya lalu saya tekan supaya dia menengadah ke saya. Astagfirullahhaladzim…. Subhanallah…. .. ! Sinar matanya hampa dan kosong. Tidak ada kontak mata [eye contact] sama sekali, seperti biasanya ketika seseorang anak melakukan komunikasi dengan orang lain.

Sebagai seorang ayah yang memiliki latar belakang pendidikan bahasa dan komunikasi, saya yakin betul bahwa kontak mata berhubungan erat dengan konsentrasi, perhatian dan pemahaman seseorang dalam sebuah komunikasi. Saya sempat baca di berberapa referensi bahwa salah satu cirri-ciri anak autis adalah kurang bahkan tidak adanya kontak mata saat kita ajak dia berbicara sehingga daya serap yang dimilikinya terhadap bahasa verbal [kata-kata atau ujaran] sangat minim. Hal ini akhirnya membuat penderita autis tidak bisa berbicara atau berkomunikasi. Selanjutnya dijelaskan, anak autis juga cenderung tidak peka dengan lingkungannya, tidak bisa mengontrol diri dan hiperaktif. Melihat cirri-ciri yang dimiliki oleh anak saya, saya mulai khawatir jangan-jangan dia terserang autis karena semua cirri-ciri yang saya sebutkan di atas dimilikinya saat itu.

Sejak saat itu, dia tidak pernah luput dari pantauan kami waktu demi waktu. Apa saja yang ia lakukan selalu menjadi perhatian kami, mulai dari cara ia duduk, tidur, gerakan kepala, tangan, kaki, suara atau ujaran yang sering diucapkan, hal-hal yang sangat ia sukai hingga apa-apa saja yang sudah bisa ia komunikasikan. Saya berusaha merekam hal itu detik demi detik sebagai referensi saya untuk menentukan gejala apa yang dialaminya dan penangan apa yang paling tepat baginya agar ia bisa seperti anak-anak yang lainnya. Diskusi tentang dia antara saya dengan bundanya menjadi menu wajib bagi kami entah pagi hari, siang hari, malam hari, setelah sholat, menjelang tidur hingga pagi datang kembali. Apalagi setelah kami amati, semakin hari justru semakin tidak ada kemajuan yang ia alami jika dibandingkan dengan kondisi sebelumnya. Yang bisa ia lakukan hanya berjingkrak-jingkrak, berlompatan kesana kamari dengan histeris sambil mengeluarkan ujaran yang aneh dari mulutnya. Untuk sekedar bilang ayah saja tidak bisa padahal usianya saat itu sudah 3 tahun. Setiap kali keluar rumah, pasti menjadi tontonan anak-anak sebaya lainnya. Tak ada seorang pun dari mereka yang bisa berteman dengannya. Olok-olokan dari mereka seperti anak gila, anak tidak normal dan ungkapan-ungkapan yang amat sangat menyayat perasaan kami sudah menjadi langganannya setiap kali ia berada diantara mereka.

Untuk memastikan apa yang diderita oleh anak kami saya berusaha mencari berbagai referensi tentang autis. Saya ‘googling’ di internet setiap ada kesempatan. Bahkan ketika saya di Amerika saya memborong 1 koli ‘used books’ tentang autos. Saya mendatangi dokter, psikolog, psikiater, sekolah-sekolah autis yang ada di Balikpapan. Saya juga ikut berbagai seminar autis baik yang dilaksanakan dengan melibatkan pembicara lokal, nasional bahkan internasional. Sekali lagi, satu tujuan saya, saya ingin memastikan apakah anak kami ini menderita autis. Namun sayang, walaupun waktu telah berjalan 1 tahun, belum ada satu pun dokter atau ahli yang berani menyimpulkan kalau anak kami ini menderita autis. Pernah suatu kali ada pakar autis dari Belanda yang menjadi pembicara pada seminar autis di kota Balikpapan. Namanya, kalau tidak salah, Fredofis. Nama tersebut selanjutnya digunakan sebagai nama salah satu sekolah Autis di Jogjakarta. Beliau memaparkan begitu detail tentang autis mulai dari cirri-cirinya hingga hal-hal yang dianjurkan untuk dilakukan oleh orang tua dalam menangani anak autis. Karena saya ingin mendapatkan jawaban yang memuaskan tentang symptom yang dialami oleh anak kami, saya mengajak dia langsung berkonsultasi dengan pakar tersebut. Sengaja saya lakukan hal itu supaya Mr. Fredofis bisa melihat langsung secara fisik anak kami. Tapi lagi-lagi kami kecewa karena tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Hasil diagnosanya sama seperti yang telah dilakukan oleh para dokter, psikolog atau psikiater sebelumya, “anak kami memiliki gejala autis, tetapi tidak autis”. Setiap kali dokter, psikolog, psikiater bahkan pakar autis dari Belanda tersebut menyebut kata-kata “tetapi tidak autis” dalam kesimpulan diagnosanya tersebut, saya melihat ada keraguan di raut wajah mereka. Sungguh sebuah kesimpulan yang membingungkan buat kami, padahal kami harus mengambil tindakan yang tepat dengan segera.
Setiap kali tetangga dekat atau teman sejawat kami bertanya tentang penanganan medis yang telah kami lakukan padanya, kami selalu menjawab dengan nada yang tidak bersemangat. Bagaimana tidak, kami belum melakukan tindakan apapun karena kami tidak tahu penyakit apa yang dideritanya. Tetangga kami yang mungkin merasa lebih modern dan mampu membeli apa saja yang diinginkannya seringkali dengan nada yang agak merendahkan kami meminta kami untuk menyekolahkan anak kami tersebut di salah satu sekolah autis di Balikpapan yang menurut ukuran kami biayanya sangat mahal. Hati kecil saya kadangkala bergumam " kami bukannya tidak mau atau tidak mampu menyekolahkannya di sekolah itu. Kami tidak mau melakukan itu karena kami tidak yakin jika anak kami menderita autis". Seandainya kami telah yakin kalau anak kami autis, sebagai orang tua, kami tentu akan berusaha semampu kami untuk memberikan penanganan yang optimal kepadanya.
Setiap kali bundanya melihat anak-anak sebayanya pergi ke sekolah, ia selalu meneteskan air mata. Seringkali ia sesenggukan di depan saya. Ia sangat khawatir kelak anaknya tidak diterima di sekolah manapun akibat kekurangan yang ia miliki.
Bagaimana cerita [pengalaman pribadi saya ini] selanjutnya ? Cek terus weblog ini !

WHEN I WAS IN USA : Giving Speech in the Opening Ceremony



Wah ... yang ngambil gambar ini nggak beres. Masa' audiencenya nggak ada nongol satupun. Foto ini diambil pada saat pembukaan program, sehari setelah nyampe USA. Saya didaulat dengan tiba-tiba oleh teman-teman untuk mewakili mereka menyampaikan sepatah dua patah kata dalam acara pembukaan International Tecahers Exchange tersebut.

WHEN I WAS IN USA : At Campus Dorm


Ternyata antara LA dengan Amherst, Massachuset jaraknya cukup jauh. Setelah mampir di Minieapolis dan Conneticut, malam hari sekitar jam 08.00 [ato kurang lebih jam 09.00 pagi di Indonesia], baru saya nyampe Hardford International Airport. Sekitar jan 08.30 baru dijemput sama team dari UMASS-The University of Massachusetts terus di bawa ke Campus Dormitory, Amherst untuk Brief Orientation. Nah, foto ini saya ambil ketika selesai BO. Ada acara penyambutan yang sangat sederhana sekali karena acara program yang akan kita ikuti belum dibuka secara resmi. Di foto tampak 10 guru yang mewakili Indonesia pada International Teachers Exchange tersebut. Wah... kelihatan pada lelah nih.

Wednesday, September 19, 2007

WHEN I WAS IN USA : Just arrived in L.A !


Foto ini saya ambil dengan kamera tersebunyi dan tergesa-gesa lagi dengan Nikon 4.5 Mega Fixel ketika baru sampai Los Angles-LA setelah 13 jam terbang dari Tokyo. Kenapa tersebunyi ? Di USA, untuk alasan security, kita dilarang ambil gambar di tempat-tempat tertentu seperti airport misalnya. Nggak kayak di Indonesia, main jepret aja.

Masuk Amerika itu memang susah ya. Bayangkan coba, kita yang diundang khusus sama 'Gedung Putih' aja masih harus dapat 'Secondary Inspection' ketika baru nyampe [First Entry] di LA. Saya masih agak beruntung karena hanya diminta isi beberapa blangko tentang identitas diri dan tujuan kunjungan ke Amrik. Teman saya, si Charles, karena wajahnya kayak Arab walaupun dia Batak harus ditambah lagi dengan pengambilan sumpah segala. Munkin saat itu masih taruma dengan September Eleven kali ya ?

The Zarnuji-Bpp-Indonesia


WHEN I WAS IN AUSTRALIA : Lari Karung Sama Bule

Ternyata seru ya kalo lawan kita lari karung orang Bule. Tadinya saya berpikir pasti saya kalah soalnya kaki mereka kan panjang-panjang. Kita dua langkah, dia baru satu. Saya nggak sadar kalau ukuran karungnya sama. Jadi lebar langkah yang bisa kita buat sebenarnya sama saja. Makanya saya menang lho ! Oh ya, si kecil sama saya itu putri cantiknya si Andrew Yong, homestay family saya [Aussie, 2 Oktober 200].


Enjoy Aja !

WHEN I WAS IN AUSTRALIA : LAURER BANK PARK & PICNIC POINT, Taman Favorit Saya di Toowoomba




It always bears in mind ! Every weekend I had to spare one or two hours just to have sightseeing. I love LAURER BANK PARK and PICNIC POINT. They are the most beautiful and favorable flower gardens I had ever seen in Toowoomba [www.toowoomba.gov.qld.au] I guess. Toowoomba is a beautiful garden city situated 127 kilometers to the west of Brisbane, a state capital of Queenland. Enjoy the pictures and panorama !




The Zarnuji-Bpp-Indonesia

WHEN I WAS IN AUSTRALIA : USQ Administration Office


This picture was taken when I was in Australia taking a GradCert TESOL in the University of Sothern Queensland (USQ), Toowoomba, Australia (2003). The program was fully sponsored by local government of Balikpapan and attended by 10 outstanding teachers of secondary schools in town.
The Zarnuji, Bpp-Indonesia

Tuesday, September 18, 2007

KOTA-KOTA YANG PERNAH SAYA KUNJUNGI






Kadang saya merasa seperti mimpi saja ketika saya kembali mengingat masa kecil saya. Bayangkan saja, dulu ketika saya ingin melihat kota Sumbawa Besar [ibukota Kabupaten Sumbawa] saja yang jaraknya hanya 95 kilometer dari kampung halaman saya, sungguh terasa amat sangat sulit. Seingat saya, pertama kali saya berkesempatan mengunjungi pusat pemerintahan Kesultanan Sumbawa tersebut ketika saya sudah berumur 16 tahun. Sungguh waktu yang cukup lama buat saya untuk menunggu agar bisa sekedar duduk di kursi kayu bis Juwita Mas [bis yang berbentuk tak lebih dari sebuah truk kayu yang diberi atap dan satu-satunya yang melalui jalur Taliwang-Seteluk-Utan Rehe-Sumbawa Besar saat itu], menempuh perjalanan yang jaraknya kurang dari 100 km dan melihat sebuah ibukota kabupaten. Bayangkan saja, saya harus menunggu kurang lebih setengah dari usia saya saat ini. Itulah sedikit cerminan betapa sulitnya kehidupan kami saat itu.

Kini setelah saya lalui masa yang rentang waktunya sama dengan penantian itu, Alhamdulillah, Allah telah memberikan saya keleluasaan untuk menempuh hampir 1000 kali lipat dari panjangnya perjalanan yang saya lalui ketika saya masih dibelenggu oleh masa-masa sulit itu. Allah telah menganugerahi saya kemampuan untuk mengunjungi hampir 100 kota setingkat ibukota Kabupaten, 75 propinsi/negara bagian dan 7 negara baik di dalam maupun luar negeri. Allah juga telah memberikan saya rezeki yang tidak pernah saya duga-duga sebelumnya untuk membiayai perjalanan saya yang bernilai beratus-ratus juta rupiah. Sungguh sebuah kenikmatan yang luar biasa yang harus dan patut saya syukuri.

Inilah nama-nama tempat atau kota yang selalu menjadi kenangan sepanjang hidup saya hingga saat ini;

1. INDONESIA : Senayan (1971-1987), Sumbawa Besar (1988), Mataram (1987-1997), Praya (1990), Selong (1991,1992,1993), Balikpapan (1997-Sekarang), Samarinda (1997, 1998, 2000, 2004, 2005, 2007), Surabaya (1999), Jakarta(1999), Malang (2000), Bandung (2003), Semarang (2004), Denpasar (2004), Kebumen (2003), Cimahi (2003), Tangerang (2000), Sukabumi(2001), Cianjur (2002), Ponorogo (2000), Mojokerto (2000), Jombang (2000), Nganjuk (2000), Kediri (2000)Ngawi (2000), Magetan (2000), Madiun (2000, 2007), Makassar (2006), Manado (2006) Solo (2001,2007) dan Jogjakarta (2001,2003,2005, 2007) dan masih banyak lagi kota-kota di Jawa yang tidak terekam dengan baik kapan saya lakukan kunjungan.


2. AUSTRALIA (2003) : Sydney, Canberra, Brisbane, Toowoomba, Rockhampton, Gold Coast, Harvey Bay, Bundenberg, Super Paradise dan Gladstone.

3. SINGAPURA (2005 & 2006) : Nanyang Executive Center, NTU, NIE, NUS, Jurong Bird Park, Mustafa Center, Orchard Road, Tamasek City dan Sim Liem Square.

4. AMERIKA SERIKAT (2006) : Los Angles, New York, Ellis Island, Brodway, Manhattan, Washington DC, Virginia, Alexandria, Pensilvania, Cincinati, Virginia, Massachusetts, Boston, Hardford, Conneticut, Minea Polis, Kentucky, Ohio, Amherst, Northampton dan Hadley.

5. TAHILAND (2006) : Bangkok

6. JEPANG (2006) : Tokyo, Sinjuku dan Kobe.

7. AUSTRALIA (2007) : Melbourne; Melbourne University, Royal Melbourne Institute of Technology dan beberapa Sekolah Dasar dan Menengah.

Salam dari Balikpapan






SYAMSUL A'IMMATIZ ZARNUJI, MATAHARI YANG MEMBERI ARAH-Part 1


Seperti yang telah saya utarakan, sebenarnya nama saya SYAMSUL A'IMMATIZ ZARNUJI, bukan SYAMSUL AEMATIS ZARNUJI. Menurut ayah saya, nama di atas diadopsi dari nama pengarang salah satu kitab berbahasa Arab yang paling beliau sukai saat saya masih dalam kandungan [Ibunda hamil], yang dalam bahasa Indonesia berjudul METODE DIDAKTIK PENGAJARAN. Kata beliau, nama itu sungguh sangat bermakna. Syamsul berasal dari kata bahasa Arab ‘syamsu’ yang dalam bahasa Indonesia berarti ‘matahari’. Sedangkan A’immatiz berasal dari akar kata ‘imam’ yang berarti ‘pemimpin’. Jadi secara filosofis, matahari dan pemimpin memiliki kesamaan sifat yaitu hal atau sesuatu yang memberi arah. Ayah saya selalu mengingatkan saya, ‘jika kelak kamu jadi pemimpin, minimal pemimpin dalam rumah tanggamu, jadilah pemimpin yang mampu memberi arah bagi istri dan anak-anakmu’. Itulah amanah yang paling besar yang menjadi warisan yang tak ternilai harganya yang pernah saya terima dari ayah saya meskipun kata ZARNUJI yang menjadi nama akhir saya tidak pernah beliau jelaskan kepada saya apa maknanya.


Saya dilahirkan [tidak tau tanggalan yang sebenarnya karena ayah saya tidak mencatatnya] di sebuah kampung kecil di pulau Sumbawa, kurang lebih 95 kilometer dari Sumbawa Besar [Sumbawa Besar adalah ibukota Kabupaten Sumbawa] atau 25 kilometer dari Taliwang, ibukota Kabupaten Sumbawa Barat. Nama kampung itu sama persis dengan nama sebuah tempat dimana salah satu maskot olahraga negara kita berada. Itulah Senayan, sebuah desa yang sebagian besar penduduknya hidup dari bercocok tanam di sawah atau lahan kering tadah hujan.


Saya banyak menghabiskan masa kecil saya di kampung ini, belajar dan membantu ayah bekerja di sawah atau ladang selepas sekolah. Sejak duduk di bangku Sekolah Dasar, kecerdasan, bakat seni dan kemampuan berorganisasi saya sudah mulai nampak. Paling tidak itu yang sering diucapkan oleh ibunda saya. Kenyataannya memang saya sangat suka seni suara dan seni rupa. Akting dan melakukan orasi di depan umum juga menjadi salah satu bidang yang paling saya gemari. Sementara di bidang organisasi saya menjatuhkan pilihan pada hal-hal yang berhubungan dengan kepanduan. Di bidang akademik, saya nggak punya preferensi yang lebih spesifik. Saya menyukai hampir semua mata pelajaran yang diberikan ketika itu. Namun satu hal yang menurut saya agak lain dari kebanyakan teman-teman sebaya saya di sekolah saat itu adalah, saya nggak pernah punya waktu khusus untuk belajar terutama kalau lagi di rumah. Modal saya hanya apa yang saya dengar dari guru saya saat beliau menyampaikan materi di dalam kelas. Saya praktis lebih banyak menghabiskan waktu untuk bermain dan mengikuti kegiata-kegiatan kesukaan saya; menyanyi dan latihan pramuka. Biar begitu, tetap saja saya dapat ranking 1 dari kelas 1 sampai dengan kelas 6. Mungkin karena tidak ada saingan saya di sekolah itu saat itu. Atas prestasi tersebut, saya rutin menerima beasiswa dari Yayasan Supersmar.


Selepas SD tahun 1984 saya melanjutkan sekolah ke SLTP tepatnya di SMP Negeri 1 Seteluk tanpa melalui Tes Seleksi Penerimaan Siswa Baru. Saat itu kebetulan ada kebijakan "bagi yang memiliki total nilai tertinggi pada ijazah SD dimana ia sekolah, yang bersangkutan boleh memilih sendiri Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dimana ia sukai tanpa melalui seleksi" dan memang saat itu saya memenuhi persyaratan tersebut. Selama saya duduk di bangku SLTP kegemaran saya nggak berubah, selalu saja berhubungan dengan seni dan kegiatan kepanduan. Kalau waktu masih duduk di bangku SD saya lebih banyak mengikuti kegiatan seni suara, di SLTP lebih luas lagi, mulai dari seni lukis, baca puisi, berpidato hingga menulis cerpen. Sering kali saya mengikuti berbagai perlombaan dan pasti dapet juara. Yang paling berkesan dan masih segar teringat dibenak saya adalah ketika saya pertama kali naik punggung untuk mengikuti lomba baca puisi dalam rangka peringatan hari pendidikan nasional di Kecamatan Seteluk. Puisi yang saya baca saat itu adalah Habislah Gelap Terbitlah Terang karya Ki Hajar Dewantara. Saking semangat dan berapi-apinya saya membacakan puisi tersebut sampai-sampai acungan tangan saya ke atas nggak terkontrol lagi. Dan ups, lengan baju saya persis pada bagian ketiak koyak tak karuan. Penonton tertawa habis-habisan sambil menyemangati saya dengan memberikan tepuk tangan yang meriah. Malunya bukan main. Tetapi akhirnya terobati karena saya berhasil meraih dua gelar sekaligus; sebagai juara 1 dan peserta fovorit untuk mata lomba Baca Puisi tingkat Kecamatan tersebut.


Walaupun kegiatan ekskul saya seabrek, prestasi akademik saya nggak pernah merosot. Saya nggak pernah keluar dari ranking 1-3 setiap semester. Di SMP Negeri 1 Seteluk saya masuk kelas A dimana pesaing-pesaing saya rata-rata memilki kecerdasan di atas rata-rata bila dibandingkan dengan siswa-siswa pada kelas-kelas yang lainnya. Salah satu pesaing saya yang paling saya ingat namanya adalah Evi Nurul Komariah. Dia sangat cerdas. Dia salah satu putri dari kepala sekolah saya.




Salam dari Balikpapan


APALAH ARTINYA SEBUAH NAMA


Nama saya sebenarnya Syamsul A'MMATIZ Zarnuji, bukan AEMATIS seperti yang tertera pada dokumen-dokumen resmi saya. Kesalahan tersebut terjadi ketika nama saya ditulis pertama kali secara resmi dalam ijazah SD saya sekitar 30 tahun yang lalu. Saya tidak tau persis kenapa bisa salah. Yang saya tau, ayah saya [almarhum] saat itu sempat protes ke sekolah setelah mendapati nama anaknya tertulis tidak sesuai dengan nama yang diberikan oleh beliau. Namun 'nasi udah jadi bubur' alias nggak mungkin diubah lagi. Sehingga penulisan nama pada dokumen-dokumen resmi saya selanjutnya mengacu kepada nama yang salah tersebut.


Walaupun Shakespier [jangan diketawain ya, ini yang nulis orang Indonesia, bukan londo] bilang, apalah artinya sebuah nama, buat ayah saya dan saya, nama itu cukup berpengaruh dalam menentukan suasana untuk hal-hal tertentu dan di tempat-tempat tertentu. Coba bayangkan kalau misalnya nama saya SUDARMONO. Saya tinggal di Bima, salah satu kota di Nusa Tenggara Barat. Saya pastikan masyarakat yang sehari-harinya berkomunikasi dalam bahasa Bima [baca:mbojo] akan selalu mendapatkan kesulitan manakala harus memanggil atau menyebut nama lengkap saya. Apa masalahnya ?


Begini, saya pernah mendapat cerita dari seorang kawan soal ini. Wallahu'alambissawaf, apakah betul terjadi atau tidak. Konon katanya, dulu pak Sudarmono, mantan wapres kita pernah berkunjung ke Bima untuk meresmikan salah satu mega proyek pembangunan irigasi di sana. Sepanjang jalan menuju proyek irigasi tersebut, banyak sekali terbentang spanduk dan umbul-umbul. Namun aneh, nama beliau dalam ucapan-ucapan selamat datang pada spanduk tersebut tak satupun tertulis dengan lengkap. Semua tertulis; SELAMAT DATANG BAPAK SUDAR, WAKIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PADA PERESMIAN PROYEK... dst. Sang wakil presiden nampaknya penasaran dengan tulisan tersebut selama dalam perjalanan. Beliau lalu bertanya kepada ajudannya, "kamu tau nggak kenapa nama saya tidak ditulis dengan lengkap ?" tanya sang wapres. Tentu si ajudan nggak bisa menjawab karena dia tidak bisa berbahasa bima [baca:mbojo]. Sebentar kemudian walikota Bima yang kebetulan orang Bima [baca:dou mbojo] mendekati si ajudan untuk mengkonsultasikan tentang aturan protokoler sang wapres selama berada di Bima. Sebelum sempat berbicara panjang lebar, sang ajudan langsung saja bertanya pada pak wali. "Bapak tau nggak kenapa nama pak wapres pada setiap spanduk tertulis SUDAR saja, bukan SUDARMONO ? Sang walikota nggak langsung menjawab. Ia hanya bilang 'itu nggak bagus'. "Nggak bagus apanya pak ? " tanya si ajudan kembali. "Bisa bapak mendekat sedikit ke saya ?" kata pak wali. Sambil agak berbisik karena takut di dengar pak wapres, "Jangan dikasi tau siapa-siapa ya, MONO itu dalam bahasa bima [maaf] artinya alat kemaluan laki-laki" kati si walikota. Sontak saja si ajudan terperanjat.


Nah, benar kan, nama atau arti nama itu sangat penting. Jadi kalau saat ini yang ngebaca weblog saya ini atau ada keluarga atau tetangga yang sedang mepersiapkan nama putra-putrinya, tolong 'dibisikin' ya supaya hati-hati memberikan nama kepada putra-putri mereka. Trus, nama anda atau nama saya apa artinya ? Untuk nama anda, jadiin PR aja deh. Saya akan uraikan arti nama saya pada episode berikutnya. Bye, see you soon !


The Zarnuji, Balikpapan-Indonesia

WELCOME TO MY FAMILY'S WEBLOG !


Hi, this is just my new personal blog. I'd like to dedicate it to my devoted wife, Ika, beloved son, Darul (7) and marvelous daughter, Fira (5). Happy looking, browsing and surfing !

The Zarnuji, Balikpapan-Indonesia